Arrahmah.com - Senin (10/1/2011) lalu, Setara Institut menggelar Diskusi Publik “
Deradikalisasi Agama untuk Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara dan Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta. Lagi, paket
Proyek Deradikalisasi serang pimpinan ormas Islam yang selama ini membendung aliran sesat, pemurtadan dan mengkampanyekan tegaknya syariat Islam.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi: Inpektur Jenderal polisi Ansyad Mbai (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris), DR. Abdul Mu’ti (tokoh Muhammadiyah), Imdadun Rahmat (Wasekjen PBNU), Ismail Hasani (Peneliti Setara Institut). Setara juga mengundang istri Sinta Nuria, tokoh Ahmadiyah, para dubes asing, dan aktivis liberal lainnya.
Setara Institute adalah organisasi perhimpunan yang didirikan oleh 28 individu (termasuk Gus Dur di dalamnya) itu memiliki cita-cita mewujudkan masyarakat yang liberal, sekuler, dan plural. Salah satu perhatian utama LSM komparador ini adalah turut serta berkembangnya paham aliran sesat di Indonesia, membiarkan dan membela kemaksiatan merajalela di bumi ini. Atas nama toleransi, demokrasi dan HAM, NGO yang satu ini selalu usil dan mencari-cari celah memberi stigmatisasi kepada para ulama dan orma Islam yang selama ini berjuang membela Islam.
Setara Institute dan partnernya sesama pengasong sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) sedemikian paranoid dengan banyaknya bermunculan ormas Islam yang ingin negeri ini aman, diberkahi dan terhindar dari musibah dan bencana.
Atas nama riset dan penelitian, Setara Institut secara tendensius menyudutkan ormas Islam yang selama ini berjuang menyelamatkan akidah umat dari pemurtadan. Penelitian yang hanya dilakukan dalam tempo singkat, tiga bulan itu, tidak disertai dengan wawancara pimpinan Ormas Islam yang diteliti. Tapi mengatasnamaka riset. Pantas bila laporannya begitu ngelantur dan ngawur. Seperti anak SD yang sedang belajar mengarang.
Dalam sebuah laporan “bodong” berjudul : Radikalisme Agama di Jadebotabek & Jawa Barat – Implikasinya terhadap Jaminan Kebebebasan Beragama/Berkeyakinan, Setara Institute mengolok-olok para ulama dan pimpinan ormas Islam, seperti FPI, FUI, FUI Cirebon, Garis, DDII dan sebagainya.
Ada lima bab yang dilaporkan dalam penelitian setebal 181 halaman itu, meliputi: Bab I (Pendahuluan), Bab II (Genealogi Islam Radikal), Bab III (Potret Radikalisme di Perkotaan), Bab IV (Ragam Wajah Satu Cita-cita), Bab V (Wajah Para Pembel Islam), Bab VI (Masa Depan Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan).
Dalam Bab II misalnya, Setara Institute menjabarkan Masyumi dan Darul Islam, Dari DDII ke Islam Transnasional dan Islam Radikal Lokal; Gelombang Radikalisasi Islam; Konteks Radikalisasi Islam di Jakarta dan Jawa Barat. Pada Bab IV, juga dipaparkan ihwal Aktor, Basis Massa, Rekruitmen Anggota, Dana, Aliran dan Doktrin Ajaran, Agenda Aksi, Strategi Dan Taktik, Dinamika Perpecahan.
Setara Institut dengan bernafsunya juga menelanjangi ormas Islam dan para pimpinannya yang selama ini giat membela Islam. Ormas Islam yang dibidik itu antara lain: FUI (Forum Umat Islam), FPI (Front Pembela Islam), GARIS (Gerakan Reformis Islam), FAPB (Front Anti Pemurtadan Bekasi), FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah) Cirebon, THOLIBAN. Termasuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
“Dengan mengenali organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukanm oleh Negara untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan. Kami juga merekomendasi penelitian ini, agar Negara dapat menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi dan melakukan deradikalisasi pandangan, prilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal politik dan ekonomi,” kata Peneliti Setara Institut Ismail Hasani sewot.
Penelitian Ngawur
Dalam pengantarnya, Hendardi (Ketua Pengurus Setara Institute) sesumbar, dalam tiga tahun terakhir ini (2007-2010), negeri ini dalam kondisi memperihatinkan. Tahun 2007, Setara mencatat terdapat 185 jenis tindakan dalam peristiwa 135 kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tahun 2008, terdapat 367 tindakan di 265 peristiwa. Tahun 2009, masih dalam survey Setara, terdapat 291 tindakan untuk 200 peristiwa. Tahun 2010, tidak kurang 175 peristiwa.
Dengan omongan kosongnya, Hendardi menebar fitnah, sebagian besar peristiwa pelanggaran, berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal. Setara institute pun memilih dua wilayah: Jadebotabek dan Jawa Barat untuk “meriset” tentang radikalisasi.
“Penelitian di kedua wilayah ini merupakan barometer politik Indonesia. Temuan riset secara umum, menunjukkan bahwa tingkat intoleransi di dua wilayah ini cukup tinggi, karena banyak faktor. Namun yang utama, justru, bukan dari faktor agama itu sendiri. Keberadaan organisasi Islam radikal yang selama ini gemar melakukan aksi kekerasan, hanyalah sebagai katalisator dan incubator bagi menguatnya radikalisme di tengah masyarakat, ”tandas Hendardi.
Penyebab radikalisme, lanjut Hendardi, selain disebabkan geneologi gerakan masa lalu, juga disebabkan kondisi mental masyarakat yang frustasi, tak terkecuali kesejahteraan yang tidak merata. Setara Institut telah merekomendasi 8 langkah yang bisa ditempuh oleh berbagai institusi negara yang relevan, dalam rangka deradikalisasi masyarakat. Secara khusus, rekomendasi menunjukkan betapa pentingnya membuat kanal-kanal politik dan ekonomi, untuk deradikalisasi yang ada di tengah masyarakat.
“Sebelum dialog ini berlangsung, Setara Institut mengaku sudah menemui institusi Negara. Acara ini sekaligus, kami peruntukkan untuk mengenang satu tahun wafatnya Abdurrahman Wahid selaku pendiri Setara Institut,” ujar Hendardi
Sementara itu Peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, memaparkan, bahwa pemilihan wilayah Jawa Barat dan Jadebtabek, bukan tanpa dasar. Menurutnya, wilayah tersebut sudah menjadi pemantauan LSM ini selama empat tahun terakhir, dimana di Jadebotabek dan Jawa Barat telah menempati rangking pertama atas tindakannya melakukan diskriminasi terhadap jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.
“Publik bertanya, kenapa Jadebotabek dan Jawa Barat selalu berada di rangking pertama yang banyak melakukan pelanggaran. Karena itu kita turun ke lapangan untuk mendeteksi secara lebih mendalam, kenapa bisa terjadi pelanggaran,” kata Ismail Hasani.
Setara Institute mencatat, organisasi radikal ini semakin intensif. Nyaris semua pelanggaran, selalu berhubungan dengan organisasi-organisasi Islam radikal. Karena itu pihaknya ingin mengecek seberapa jauh dukungan masyarakat terhadap organisasi ini. “Tujuan studi ini awalnya semata-mata untuk mengenali profil organisasi-organsiasi Islam. Karena perannya selama ini dianggap mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Setelah mengenali, kami menakar implikasinya. Kami yang selama ini mengusung pluralisme, ingin mengukur apakah organisasi ini mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan? Karena itu kita lakukan penelitian ini.”
Ada empat pertanyaan yang diajukan dalam penelitian tersebut. Pertama, bagaimana pandangan masyarakat terhadap organisasi Islam radikal? Setara melihat, akhir November 2010 lalu, media massa memberitakan, bahwa masyarakat di Jabotabek memiliki tingkat intoleranasi yang tinggi.
“Kami tegaskan dalam forum ini, bahwa intoleransi yang terkait dengan hubungan sosial, boleh dikatakan cukup tinggi. Mengenai kehidupan keberagamaan yang lebih privat, ada temuan yang mengejutkan. Misalnya, masyarakat dejabotabek tidak senang/tidak setuju ketika di sekelilingnya atau lingkungannya terdapat tempat ibadah agama lain. Sekalipun angkanya tidak mayoritas, tapi sebagai sebuah bangsa yang plural dan memiliki konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, temuan ini menjadi serius,” papar Ismail.
Tapi ketika ditanya soal kekerasan yang dilakukan terhadap organisasi Islam, di atas 80% masyarakat kita menolak kekerasan. Inilah model sosial kita. Karena itu, kata Ismail, yang perlu dikembangkan adalah dengan melakukan deradikalisasi.
Lebih jauh Ismail membagi intoleransi, yakni: aktif dan pasif. Adapun intoleransi Pasif adalah ketika intoleranasi tidak memanifestasi menjadi kekerasan. Pandangan ini masih dianggap sah-sah saja. Sedangkan intoleransi aktif, jika sudah memanifestasi kekerasan, termasuk dalam bentuk verbal.
“Pernyataan publik yang memprovokasi kekerasan, jelas berbahaya. Deradikalisai menjadi penting dilakukan. Biasanya, tahapan setelah intoleransi aktif, maka akan menjadi radikal, lalu jika katalisator dan inkubatornya bekerja dengan baik, bisa saja menjadi terorisme.
Maka dari itu Setara menyakini, bahwa terorisme adalah puncak dari tindakan intoleransi. Sebaliknya, intolerasi adalah titik awal terjadinya terorisme.”
Sedangkan Abdul Mu’ti (tokoh muda Muhammadiyah berpaham liberal, mengolok-olok kelompok Islam dan ulama yang selama ini berjuang untuk Islam. Kata Mu’ti, ulama dan pimpinan ormas Islam termotivasi dengan uang.
“Radikalisme itu seperti perusahaan. Kalau tidak berhasil, akan membentuk organisasi lain.
Saya menduga, jangan-jangan radikalisasi tidak punya akar ideologi, tapi akar pragmatisasi atau dorongan mencari rezeki. Karena itu, kaitan dengan sumber dana yang diperolehnya harus dilacak lebih jauh,” kata penulis buku Kristen Muhammadiyah ini cengengesan.
Mu'ti berpandangan, bermunculannya banyak organisasi Islam adalah konsekuensi dari demokrasi itu sendiri. Apa yang disebut freedom of speech, bahwa semua orang bisa bicara apa saja.
Ketika semua ideologi muncul, tidak ada satupun yg menyembunyikan identitasnya. Ya itulah konsekuaensi demokrasi. Freedom ekpresion. “Bercadar sebaiknya juga jangan dilarang, itu konsekusi demokrasi. Media pun bebas bicara, selama melakukan coverbothside: kedua pihak diberi ruang untuk bicara,” kata Mu’ti.
Ketika dimintai tanggapannya tentang hasil penelitian yang dilakukan Setara Institut yang didalam salah satu laporannya memuat pernyataan yang menyerang FUI, Sekjen FUI KH. Muhammad al Khaththath menanggapinya dengan enteng sambil tersenyum lebar.
“Laporan yang disampaikan Setara Institute bukanlah penelitian ilmiah. Penelitian itu tak lebih laporan bodong, kacangan, dan tidak berdasar. Lha, saya sendiri tidak pernah diwawancarai oleh pihak Setara. Bagaimana mungkin disebut riset penelitian, jika saya yang disebut-sebut dalam laporan itu tidak pernah dikonfirmasi. Gitu aja kok repot,” kata Ustadz Al Khaththath.
Pernyataan sikap Forum Jurnalis Muslim (ForJIM) : kontribusi Setara Institute cs menghancurkan moral bangsa
Cap radikal yang diberikan oleh Setara Institut terhadap ulama dan pimpinan ormas Islam adalah makar dan pemutarbalikkan fakta. Bukan hanya itu, LSM pengasong sepilis (sekularisme, pluralism dan liberalism) tersebut telah mencemarkan nama baik ulama dan pimpinan ormas Islam.
Patut digarisbawahi, selama ini, keberadaan ormas Islam berfungsi sebagai benteng penjaga moral dan akidah umat dari kemaksiatan, penyimpangan, dan kesesatan. Pekerjaan dakwah ini seharusnya mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Negara.
Tapi apa yang terjadi, LSM-LSM komparador seperti Setara Institute justru membiarkan aliran sesat marak dimana-mana, mendukung kemaksiatan merajalela, dan menjadi pembela para peleceh Islam, dan satu hal lagi, anti dengan syariat Islam. Setara Institute dan konco-konconya juga menjadi agen Barat (terutama AS), dan mensupport sistem ekonomi neo-liberal (neolib). Ini menunjukkan LSM yang didirikan Abdurrahman Wahid ini turut berkontribusi menghancurkan moral bangsa. Setara Instutute cs tidak peduli dengan dekadensi moral umat yang kian memperihatinkan.
Setara Institute jelas-jelas ingin memperkeruh suasana dengan mengadopsi strategi kolonial: melancarkan politik devide et impera (Politik adu domba) antar ormas Islam yang satu dengan ormas Islam lainnya. Termasuk mengompori para pimpinan ormas Islam. Jelas sekali, Setara Institute dan teman sejenisnya menjadi Tukang Kompor alias Provokator radikal. Tanpa disadari, HTI dijadikan narasumber oleh Setara Institute untuk menelanjangi FUI. Tujuannya bisa dipastikan untuk membenturkan sesame ormas Islsam. Islamphobi telah melekat pada diri aktivis Setara dan parternnya.
Dengan mengatasnamakan riset, Setara Institute melakukan penelitian berjudul “Radikalisme Agama di Jabotabek & Jawa Barat” – Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan. Riset yang dikarang-klarang itu berkisah tentang rasikalisme agama di Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jadebotabek) serta Jawa Barat. Tujuannya, ingin menyajikan wajah-wajah organisasi Islam yang menurutnya, dianggap mengganggu jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.
Berbagai peristiwa yang dibeberkan Setara Institut dengan menggunakan bahasa “Kekerasan” sangat tidak tepat dan cenderung tendensius. Gelombang protes yang dilakukan masyarakat terhadap bermunculan aliran sesat, kemaksiatan, pelanggaran tempat ibadah non Muslim, sesungguhnya adalah telah tertanamnya tauhid dan akidah umat yang kuat. Di sisi lain, merupakan keberhasilan dakwah yang disampaikan para ulama dan peran serta Ormas Islam.
Bersamaan dengan itu, kesadaran beragama umat tumbuh dan berkembang.Harus diakui Pemerintah belum maksimal dalam menegakkan supremasi hukum. Sudah jelas aturan tentang SKB Tiga Menteri tentang rumah ibadah, namun pemerintah tidak bisa menindak para pelanggar yang menjadi rumah dan ruko sebagai tempat ibadah illegal. Siapa sesungguhnya yang melakukan pelanggaran? Jelas mereka dan para pendukungnya. (Ahmad Zidan/arrahmah.com)