Selalu saja ada kelompok pembuat onar dan disintegrasi berbaju peduli Pancasila dan kebhinekaan bangsa ini. Dulu ada orang yang mengaku Islam dengan ideologi sekular-liberalis fanatik berhimpun di Jaringan Islam Liberal. Jualannya provokatif tapi sayang tidak begitu mendapatkan sambutan di masyarakat akibat kesulitan mendapati momentum untuk memasukkan gagasannya.
Kali ini isu radikalisme agama dan terorisme menjadi saat tepat munculnya para penopeng yang seolah paling patriot dan kritis terhadap musuh bangsa.
Setara Institute misalnya, lembaga ini sering merilis survei soal isu tadi dan juga topik pluralisme dan perlindungan minoritas. Bisa ditebak, jualan
Hendardi dan kawan-kawannya ini lebih menyasar kepada ‘penembakan’ kelompok yang didudukkannya selaku ancaman bangsa dan dasar negara.
Banyaknya kejadian kekerasan berdimensi agama serta kesadaran keberagamaan yang berwajah fundamental, membuat Setara mendapatkan angin. Mereka pun menebarkan ideologi awaknya, yakni para SEkuler Totaliter Agnostik RAdikal (pas bila diakronimkan ssebagai Setara). Tak hanya kelompok ormas yang dipandang jahat dan bertentangan dengan Pancasila, anak-anak pelajar yang tergabung dalam kerohanian Islam pun dicurigai.
Terbaru, lembaga
SEkuler
Totaliter
Agnostik
RAdikal ini merilis survei persepsi publik soal Islam radikal di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hasilnya bisa ditebak; mayoritas responden menyatakan tidak mendukung organisasi Islam radikal. Mengapa bisa ditebak? Karena hasil ‘penelitan’ mereka sudah dirancang dan hasilnya diarahkan sesuai kepentingan mereka.
Kelemahan mendasar dan sering kali luput dari sorotan media utama adalah perilaku fanatik dalam mendiskriminasi di kalangan yang fasih menyebut dirinya pembela HAM tersebut. Aktivis di lembaga pembuat survei itu sudah salah secara metodologi yakni memasukkan istilah ‘Islam radikal’ dengan pengertian politis-ideologis, bukan dari pendekatan teoretis dari pihak yang beragam. Kalau mereka mengaku pembela pluralisme, mengapa mereka hanya mengambil praksis atau konsep yang dianggap menguntungkan dan mendukung isi otak aktivisnya?
Setara dengan pandir melepaskan perdebatan akademis istilah yang tampak menyeramkan, semisal Islam radikal. Aspek metafisika dari istilah ini pun luput dari perhatian, bahwa apakah radikal itu berkonotasi siap melemparkan bom atau menembaki musuh berbeda agama? Sayang, Hendardi sejatinya bukanlah orang yang berkompeten bicara ini tapi telanjur dikenal sebagai pembela HAM.
Persoalan lain, lembaga pemburu rente macam Setara juga gemar memaksakan aspek retoris ‘penelitian’-nya. Kalau mereka mau masuk lebih detail dan ingin membantu mencegah hadirnya kekerasan, mestinya diungkap akar persoalan mengapa di daerah yang dikenal ‘radikal’ keislamannya tidak secara terbuka mengecam pelaku ‘terorisme’? Alih-alih menjernihkan persoalan, survei Setara justru secara semena-mena menempatkan fenomena ini sebagai sebuah persoalan serius. Meski mengakui ada perbedaan antara kalangan Islam radikal dan teroris, tapi di sinilah letak permainan licik kelompok Setara. Survei dan perang opini di media dilakukan bukan untuk menyesatkan persepsi awam soal pelaku peledakan bom mengingat para korban sudah telanjur dianggap jahat dan musuh oleh pihak aparat.
Lain halnya dengan kelompok Islam radikal, mereka tidak terlibat dalam penggunaan bom dan terkadang tidak setuju dengan cara-cara pengeboman yang dilakukan saudara seimannya (bila benar pelakunya mereka). Sayangnya, tidak adanya kecaman terbuka dari kalangan Islam ini dijadikan komoditas oleh lembaga
pengemis dollar macam Setara sebagai ‘potensi’ kekerasan. Semestinya ketiadaan kecaman bukan dicurigai dan dijadikan alat jualan, namun disigi untuk dicari akar persoalannya. Bukan bicara tiba-tiba dengan memaksakan kesimpulan bahwa kebungkaman kelompok Islam tersebut sebagai sebuah ancaman lain.
Kalau Setara atau lembaga sejenisnya masih punya integritas, mestinya mereka tanyakan pada sebagian pemeluk agama yang sama dengan Tibo si Jagal Muslim Poso. Bukankah menjelang dieksekusi matinya Tibo dan dua kawannya mendapat pertentangan keras di mana-mana di negeri ini, seolah Tibo bukan aktor utama masalah pembantaian (artinya mengakui bahwa Tibo juga berandil dalam pembantaian meski bukan pembikin skenario, masalahnya mestinya logikanya bukan kemudian menjadikan dia bebas lantaran si aktor utama belum tertangkap. Sebaliknya, harusnya bila Tibo yang bersalah dan sebatas anak buah saja dihukum lebih-lebih bosnya, bukan?). Apakah bungkamnya sebagian teman seiman Tibo (yang jelas-jelas teroris) sudah dianggap laten ancaman terhadap bangsa ini, sebagaimana penilaian mereka pada kalangan radikal di Islam yang dipandang bungkam soal ‘terorisme’?
Sayang, Hendardi, sekali lagi, adalah pedagang isu dan dia akan tak malu-malu bermantelkah kata-kata ilmiah untuk proyek diskriminasinya.
Diskriminasi, ya ini yang harus kita antisipasi dari suara-suara nyaring para SEkuler Totaliter Agnostik Radikal. Entah dari lembaga mana pun. Mereka juga harus kita kenalkan kepada publik bukan dalam kapasitas pahlawan seperti label-label yang mereka terima dari media utama selama ini. Mereka perlu kita kenalkan sebagaimana adanya, sesuai perilakunya terhadap perpecahan bangsa ini akibat tindakan yang sewenang-wenang membangun persepsi seolah yang tak bersalah itu salah. Atau menuding orang polos tak tahu apa-apa justru sebagai pendukung gerakan radikal yang harus diawasi.
Sumber :
http://www.yusufmaulana.com/2011/11/setara-sekuler-totaliter-agnostik.html