Suasana pertemuan bulanan Forum Umat Islam Rabu, 12 (12/1/2010) di kawasan Jakarta Selatan terkesan penuh dengan kegeraman dari para tokoh, kyai dan ulama serta aktivis yang menghadiri rapat tersebut. Bagaimana tak geram, laporan hasil “penelitian” yang dilakukan oleh Setara Institute, sebuah
LSM Komprador asing, jelas-jelas menudingkan telunjuknya kepada ormas Islam dan beberapa ulama sebagai pelaku kekerasan.
Laporan yang lebih tepat disebut dan dikategorikan sebagai laporan intelijen tersebut sepertinya memilliki agenda untuk memecah belah umat Islam dan memprovokasi aparat Negara agar memusuhi Islam dan umat Islam. Seolah bersandar pada nilai anti kekerasan, padahal justru rekomendasi Setara tersebut menganjurkan kekerasan struktural oleh Negara kepada rakyat sendiri.
Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Setara melalui “penelitian” tersebut adalah perwujudan dari agenda besar kaum Zionis Internasional yang bermarkas di Amerika Serikat. Agenda kaum Zionis tersebut adalah menghancurkan umat Islam melalui berbagai makar dan fitnah.
Makar oleh pasukan iblis yang terdiri dari golongan jin dan manusia ini tidak lain dan tidak bukan adalah semata untuk menghalangi manusia dari jalan Allah. Pasukan iblis yang berwujud manusia ini melakukan makar dengan berbagai cara yang berbungkus dan berwajah kemanusian dan membentuk berbagai macam organisasi yang mengusung slogan kemanusiaan atau pencerahan, dan saat ini slogan yang mereka gunakan adalah HAM dan Demokrasi, sikap moderat dan toleransi. Mereka tak peduli, walaupun pihak yang mereka tuding tersebut, yaitu umat Islam justru sedang dizhalimi diberbagai tempat.
Yang menarik, cara kerja zionis internasional tersebut, adalah degan merekrut dan menggunakan orang-orang lokal untuk menjalankan agenda zionis menguasai dunia. Mereka membentuk jaringan kerja, mulai dari aktivis kampung hingga para birokrat dan petinggi negeri. Jaringan ini bekerja diberbagai sektor kehidupan, mulai dari pendidikan, perekonomian, birokrasi, politik, hingga sosial kemasyarakatan.
Jaringan zionis internasional tersebut, sudah bercokol lama di negeri ini, bahkan sejak masa penjajahan Belanda, karena memang beberapa pegawai Pemerintah Hindia Belanda adalah anggota dari jaringan tersebut. Bahkan Belanda merupakan salah satu tempat pertemuan jaringan zionis internasional se-Eropa.
Dr. Th. Stevens, seorang sejarawan Belanda, dalam bukunya yang beredar sangat terbatas berjudul, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, memuat banyak bukti yang menjelaskan tentang gerakan-gerakan kesukuan dan berbasiskan sekulerisme, pluralisme dan liberalism dan anti Islam yang digerakkan oleh tokoh-tokoh anggota jaringan Zionis Internasional. Namun dalam buku-buku pelajaran sejarah resmi yang digunakan di sekolah-sekolah, organisasi-organisai pergerakan ini disebut sebagai pergerakan Nasional yang membangkitkan nasionalisme dan banyak para tokohnya disebut sebagai tokoh nasional dan bahkan pahlawan nasional.
Diantara organisasi yang paling tenar disebut-sebut sebagai awal dari kebangkitan nasional dalam buku Dr. Th Stevens tersebut adalah Boedi Oetomo yang ternyata beberapa tokoh kuncinya adalah anggota jaringan Zionis Internasional, seperti Pangeran Ario Notodirejo yang merupakan anggota Loge Mataram dan ketua Boedi Oetomo antara tahun 1911-1914. Ia juga menyusup ke dalam Sarekat Islam yang pada tahun 1911 berhasil membuat rapat umum yang dihadiri oleh 10.000 orang, sehingga membuat pihak Belanda dan anteknya khawatir, lalu menugaskan anteknya untuk menyusup ke dalam Sarekat Islam.
Beberapa nama lain yang berasal dari kalangan lokal yang menjadi bagian dari jaringan Zionis Internasional adalah Raden Adipati Tirto Koesomo, Bupati Karang Anyar dan menjadi anggota Loge Mataram sejak tahun 1895. Terdapat juga mas Boediarjo, Raden Mas Toemenggoeng Ario Koesoemo Yoedha, Dr. Rajiman, bahkan pada masa-masa tahun 1950, Kepala Kepolisian Republik Indonesia adalah juga merupakan anggota Loge Indonesia Purwo-Daksina dan sekaligus sebagai Suhu Agung dari Timur Agung Indonesia atau Federasi Nasional Mason dan juga merangkap sebagai ketua yayasan Raden Saleh. Begitu juga tokoh pendidikan dan pahlawan Nasional yang menolak pendidikan agama pada kurikulum sekolah yang didirikannya dan menggantinya dengan pendidikan Budi Pekerti, yaitu Ki hajar Dewantara.
Menariknya, jaringan Zionis Internasional ini pernah dibubarkan dan dilarang oleh Presiden Soekarno melalui Lembaran Negara bernomor 18/1961, bulan Februari 1961, yang dikuatkan melalui Keppres No. 264 tahun 1962. Yang dibubarkan adalah berbagai organisasi yang merupakan jaringan Zionis Internasional seperti Rosikrusian, Moral Re-armament, Lion Club, Rotary dan Bahaisme dan seluruh loge (loji) mereka disita.
Yang aneh, justru 38 tahun kemudian, yaitu pada tahun 2000, Abdurrahman Wahid selaku Presiden pada waktu itu, melalui Keppres No. 69 tahun 2000 tanggal 23 Mei 2000, mencabut keppres yang dikeluarkan Soekarno sebelumnya.
Di level internasional. Jaringan Zionis Internasional ini bertugas membuat arahan kebijakan yang dijadikan pegangan oleh berbagai pemerintahan dunia, khususnya Amerika Serikat yang memang Negara bentukan dari kaum Zionis Internasional. Dokumen-dokumen yang dihasilkan oleh jaringan Zionis Internasional ini kemudian diadopsi oleh Pemerintah Amerika Serikat yang kemudian meneruskannya menjadi kebijakan politik luar negeri AS.
Sebagai bukti, pada tanggal 16 Maret 2006 Gedung Putih menerbitkan sebuah dokumen yang berisi strategi keamanan nasional AS (National Security Strategy). Dokumen tersebut menyebutkan bahwa ada dua pilar utama strategi keamanan nasional, pertama mempromosikan kebebasan, keadilan dan kemulian manusia berjuang untuk mengakhiri tirani, mempromosikan demokrasi yang efektif dan memperluas kesejahteraan melalui pasar bebas dan kebijakan pembangunan yang bijaksana. Kedua, menghadapi berbagai tantangan dengan memimpin komunitas demokrasi yang sedang tumbuh. Untuk mencapai hal tersebut maka pemerintah AS akan mengembangkan kebijakan yang solid baik dalam aspek politik, ekonomi, diplomatik dan berbagai alat lainnya yang dianggap mendukung.
Salah satu langkah dari proyek tersebut adalah menggunakan bantuan asing untuk mendukung pembangunan pemilu yang fair dan bebas, penegakan hukum, masyarakat sipil (civil society), hak-hak perempuan, kebebasan media serta kebebasan beragama (National Security Strategy, hal 6).
Dalam dokumen tersebut juga dibahas strategi untuk meredam ancaman dan perkembangan teroris dan ideologinya. Salah satunya adalah memberdayakan sesuatu yang paling diincar oleh kelompok teroris: keyakinan penganut Islam. Upaya tersebut difokuskan di dunia Islam dan Yordania, Maroko serta Indonesia dianggap telah memulai proses tersebut. Dalam memerangi teroris yang dianggap sebagai pihak yang intoleran dalam masalah agama (religious intolerance) maka AS akan melakukan:
“we defend the First Freedom: the right of people to believe and worship according to the dictates of their own conscience, free from the coercion of the state, the coercion of the majority, or the coercion of a minority that wants to dictate what others must believe.
(Kami akan mempertahankan kebebasan pertama: hak orang untuk percaya dan beribadah sesuai dengan seruan keyakinannya yang bebas dari paksaan negara, paksaan mayoritas dan paksaan minoritas yang ingin mendikte keyakinan pihak lain).
Dokumen tersebut juga menyatakan bahwa kedekatan aliansi dan persahabatan AS ditentukan seberapa besar negara tersebut memperjuangkan prinsip dan nilai-nilai yang diusung oleh negara tersebut. Semakin intens suatu negara memperlihatkan bahwa mereka menghormati warganegara mereka dan berkomitmen dengan prinsip-prinsip demokrasi maka semakin dekat dan kuat hubungan mereka dengan AS.
Rand Corporation pada tahun 2007 juga menerbitkan sebuah hasil riset yang dipimpin oleh mantan atase Departemen Pertahanan AS, Angel Rabasa yang judul: Building Moderate Muslim Networks. Penelitian ini bertujuan untuk membentuk model jaringan muslim moderat khususnya di dunia Islam yang dianggap memiliki pandangan dan misi yang sejalan dengan nilai dan prinsip-prinsip AS untuk menandingi kaum fundamentalis.
Di dalam dokumen tersebut juga dinyatakan bahwa baik AS akan mendapatkan berbagai keuntungan baik secara publik maupun privat dari penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal yaitu: nilai kesamaan (values of equity), toleransi, pluralisme, penegakan hukum dan HAM.
Dalam mewujudkan hal tersebut, secara khusus Departemen Luar Negeri AS bersama U.S. Agency for International Development (USAID) mendapatkan mandat spesifik untuk mempromosikan demokrasi. Untuk menterjemahkan kebijakan ini dalam bentuk tindakan, Deplu AS dan USAID telah mengontrak sejumlah LSM (NGOs), diantaranya National Endowment for Democracy (NED), International Republican Institute (IRI), National Democratic Institute (NDI), Asia Foundation, and Center for the Study of Islam and Democracy (CSID). Semua LSM tersebut sepenuhnya didanai oleh pemerintah AS.
Asia Foundation sendiri dianggap sebagai organisasi yang paling berhasil dalam menjalankan misinya sehingga dijadikan sebagai model penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal di timur tengah.
Hal menarik lainnya adalah perang ide ini (the war of ideas) sebagaimana halnya pada Perang Dingin, difokuskan pada dukungan terhadap partner beserta program kerjanya dan tidak dititikberatkan pada lawan. Beberapa kalangan yang dianggap potensial sebagai partner adalah:
a) intelektual dan akademisi muslim yang liberal dan sekuler,
b) ulama muda yang moderat,
c) komunitas-komunitas aktivis,
d) kelompok-kelompok perempuan yang terlibat dalam kamapanye kesetaraan dan,
e) penulis dan jurnalis moderat.
Lebih dari itu pemerintah AS harus menjamin pandangan-pandangan dan program kerja individu-indivudu tesebut. Sebagai contoh pemerintah AS harus menjamin bahwa kelompok-kelompok ini (baca : antek mereka) dilibatkan pada berbagai kongres, membuat mereka lebih dikenal oleh para pembuat kebijakan dan membantu menjaga dukungan dan sumber AS untuk tujuan kampanye publik.
Menurut lembaga riset ini, radio dan televisi merupakan alat yang paling dominan yang digunakan oleh AS dalam menyebarkan isu-isu tersebut. Di Timur Tengah, jaringan televisi AS di Timur Tengah, Al Hurra dan radio As Sawa merupakan contoh media yang menjadi corong AS.
Setiap tahunnya media mendapat dana sebesar U$ 70 juta dollar. Meski demikian direkomendasikan agar pendanaan langsung seperti itu sebaiknya ditujukan untuk mendukung outlet-outlet media lokal dan jurnalis yang mengikuti agenda yang demokratik dan pluralistik.
Pada tahun 2003, Rand Corporation juga mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada pemerintah AS dengan judul: Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies. Lembaga ini merekomendasikan kepada pemerintah AS menjalin hubungan dan kerjasama dengan kelompok modernis, tradisionalis termasuk kelompok-kelompos Sufi untuk menghadang perkembangan kelompok fundamentalis yang dianggap menghambat perkembangan demokrasi.
Adapun strategi mendukung kelompok modernis untuk melawan kaum fundamentalis adalah:
• mempublikasikan dan mendistribusikan hasil kerja mereka dengan biaya yang disubsidi
• mendorong mereka menulis untuk massa dan untuk pemuda memasukkan pandangan-pandangan mereka ke dalam kurikulum pendidikan Islam
• memberikan mereka platform publik
• menyediakan opini dan sikap mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang agama sebagai tandingan kaum fundamentalis dan tradisionalis yang memiliki website, rumah produksi, sekolah, institute dan berbagai kendaraan lain dengan tujuan untuk menghambat pemikiran kaum fundamentalis dan tradisionalis.
• Memposisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan counterculture bagi pemuda muslim yang belum terpengaruh.
• Memfasilitasi dan mendorong kesadaran terhadap budaya dan sejarah pra-Islam dan yang tidak islami melalui media dan kurikulum di negara-negara yang relevan.
• Membantu pembangunan organisasi sipil yang independen untuk mempromosikan budaya sipil dan,
• mendorong penduduk lokal untuk mendidik diri mereka tentang proses politik dan mengartikulasikan pandangan-pandangan mereka.
Bila dillihat dari strategi ini, maka tidak aneh bila, penelitian yang tak bermutu sebagaimana dilansir oleh Setara maupun berbagai LSM dan akademisi perguruan tinggi yang dibiayai oleh USAID maupun Asia Foundation diterbitkan dan dianggap sebagai karya ilmiah. Tak heran juga bila banyak ormas Islam, seperti FPI menerima banyak permintaan wawancara untuk kepentingan “penelitian” baik oleh LSM yang baru terdengar namanya, maupun oleh berbagai pusat studi yang banyak menjamur di perguruan tingi karena tersedianya dana dari berbagai lembaga yang berafiliasi dengan Zionis Internasional.
Begitu juga bila kita perhatikan berbagai acara televisi dan media lainnya, yang rajin memuat rubrik dan berita tentang upacara adat dan tradisi yang berasal dari budaya animism dan dinamisme serta banyak mengandung kemusyrikan dalam berbagai ritual, baik yang menggunakan simbol Islam maupun sekedar tradisi budaya.
Begitu juga getolnya Thamrin Tamagola yang menjadi Ketua Aliansi Bhineka Tunggal Ika untuk membangkitkan nilai-nilai adat pra Islam. Ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengembalikan masyarakat agar berpegang pada ajaran musyrik pra Islam. Apa yang dilakukan oleh Thamrin tersebut merupakan perpanjangan dari agenda dan strategi Rand Corporation untuk memerangi kebangkitan Islam.
Sementara strategi untuk kaum tradisionalis adalah:
• Mempublikasikan kritik terhadap kekerasan fundamentalis dan kaum ekstrimis
• Mendorong munculnya pertentangan antara tradisionalis dan fundamentalis
• Menghambat aliansi antara kaum tradisionalis dan fundamentalis
• Mendorong kerjasama antara kelompok modernis dan tradisionalis yang lebih dekat dengan kelompok modernis
• Mendidik kelompok tradisionalis untuk memberikan bekal kepada mereka agar dapat berdebat melawan kelompok fundamentalis karena kelompok fundamentalis dianggap sering memiliki retorika yang lebih superior
• Meningkatkan citra dan profil kelompok modernis di institusi tradisionalis
• Membedakan berbagai aliran tradisonal dan mendorong mereka agar memiliki persaman dengan kelompok modernis
• Mendorong popularitas dan penerimaan kelompok Sufi
Pada bagian ini, dokumen Rand secara tegas memuat strategi agar kaum “Tradisionalis”, yang mereka identifikasi berasal dari kalangan pesantren, untuk diadu dan dijadikan garda terdepan dalam melawan kaum “Fundamentalis”. Inilah yang menyebabkan Ulil maupun Guntur Romli dan Nuril Arifin, mati-matian berusaha untuk bisa menjadi pengurus NU, agar bisa mereka gunakan untuk memusuhi dan menggerakkan santri untuk melawan umat Islam lainnya. Untungnya strategi para “preman” ini tidak berhasil berkat kesadaran dan iman kalangan pesantren yang sudah mengetahui belangnya mereka.
Sementara starategi untuk melawan kelompok fundamentalis adalah:
• Melawan interpertasi mereka tentang Islam dan menampakkan ketidak akuratannya
• Mengungkap hubungan mereka dengan kelompok dan tindakan yang ilegal
• Mempublikasikan konsekuensi tindak kekerasan mereka
• Mendemontrasikan ketidakmampuan mereka dalam memimpin untuk meraih pembangunan yang positif bagi negara dan komunitas mereka
• Menyebarkan pesan khsususnya kepada generasi muda, penduduk tradisionalis yang saleh, kelompok minoritas di Barat dan kepada perempuan
• Mencegah memperlihatkan penghormatan dan kekaguman terhadap kekerasan kaum fundamentalis ekstrimis dan teroris.
• Menstigma mereka sebagai pihak perusak dan pengecut dan bukan sebagai pahlawan
• Mendorong para jurnalis untuk menginvestigasi isu-isu korupsi, sikap hipokrit dan tindakan amoral kelompok fundamentalis dan teroris
• Mendorong perpecahan diantara kelompok fundamentalis.
Kalau kita perhatikan strategi Zionis pada bagian ini, maka tidak heran bila kita sering sekali menonton dan menyaksikan berita-berita yang memutar balikkan fakta seperti pada kejadian Monas dan Ciketing Bekasi. Ternyata fakta-fakta yang terungkap di persidangan tidaklah sama dengan apa yang diberitakan oleh media massa bahwa umat Islam melakukan serangan terhadap kelompok agama lain. Namun, fakta-fakta yang terungkap ini tak pernah dimuat oleh media massa, untuk mengoreksi pemberitaan sebelumnya, karena memang agenda mereka adalah memberikan image negative kepada Ormas Islam agar tidak menjadikan Ormas dan aktivis Islam sebagai Pahlawan dan harus dicitrakan sebagai pelaku kejahatan.
(Ibnu Hamid)
source : suara-islam.com